Karya Tulis

Sepatu dari Ayah

Sepatu Dari Ayah

Karya Safira Salsabila, SMA MUHAMMADIYAH 2 Bandar Lampung

Pagi itu burung berkicau merdu, dunia sudah siap menyinarkan cahaya nya. Seperti biasa pula ayah akan berangkat ke kantor nya seraya mengantarkan aku menggunakan sepeda motor satu satunya yang kami milik. Memakai rok abu abu saja tidak cukup membuatku merasa senang, pasalnya di usia sepertiku teman teman biasanya memakai barang mewah dan juga baru, tidak seperti aku, huft aku selalu meminta agar ayah memberikanku setidaknya tas atau sepatu baru.Ini adalah hari pertama aku memasuki jenjang sekolah menengah atas atau kerap dipanggil SMA. Ayah sangat senang melihat anak kesayangannya akan beranjak dewasa sebentar lagi, ayah begitu bersemangat pagi ini mengatarkanku menuju sekolah baru.

“yah, aku menginginkan sepatu baru seperti teman temanku” ucapku seraya melirik ayah di atas motor

“doakan saja ayah mendapat tunjangan lebih ya nak nanti kita beli sepatu dan tas baru” sahut ayah

Jawaban ayah tentu saja membuatku sangat jengkel saat itu, pikiran yang terlalu kekanak kanakkan ku beranggapan bahwa ayah tidak menyayangiku, lagipula aku hanya minta sepatu baru seperti teman temanku, tidak lebih. Mengapa ayah sangat pelit terhadap anaknya sendiri aku marah terhadap ayah.

“anak gadis ayah sudah beranjak dewasa rupanya, hari pertama mu tentu akan menjadi hari paling istimewa bukan nak?” tanya ayah didepan gerbang sekolah seraya mengelus kepalaku dengan lembut, aku hanya menjawabnya dengan anggukan, aku harus segera beranjak menuju kelasku.

Saat itu, aku masih sangat kesal dengan beliau hingga aku menyembunyikan ponsel yang harusnya ayah pakai untuk menghubungi boss nya. Ayah kebingungan mencari dimana letak ponselnya dan aku bersikap seolah olah tidak melihatnya dan acuh terhadap ayah. Andaikan saja ayah langsung memberiku sepatu baru, mungkin aku tidak akan menyembunyikannya.

“Safira, apa kamu melihat ponsel ayah?” tanya ayah dengan hati hati seraya melihat sekeliling mencari handphone satu satunya milik ayah

“tidak, cari saja sendiri” jawabku ketus terhadap ayah

Hingga keesokannya ayah bekerja dan dimarahi oleh atasannya karena tidak dapat dihubungi, ayah sangat merasa bersalah dan meminta maaf berkali kali. Bahkan uang gaji ayah harus dipotong karen kelalaian yang sebenarnya disebabkan olehku.

disekolahku memang cukup banyak siswa siswi yang menggunakan barang barang bermerk, mereka selalu mengejekku dikarenakan aku selalu memakai barang yang sama setiap semester bahkan setiap kenaikan kelas

“safira apakah sepatumu itu masih layak dipakai?” ucap salah satu temanku dengan nada mengejek, aku selalu berusaha untuk menjawab semampuku namun, hari itu aku sedang benar benar berada di puncak emosi, aku memakinya.

“STOP MERENDAHKANKU, AYAHKU JUGA MAMPU MEMBERIKAN SEMUANYA!” teriakku, namun

semua teman temanku justru tertawa, mereka seakan mengejekku. Malam harinya, ketika aku, ayah, dan ibu sedang makan malam bersama.

“ayah kapaan aku bisa memiliki barang baru? Mengapa selalu bekas orang lain, mengapa aku tidak seperti teman temanku? Lagipula aku hanya menginginkan sepatu ayah” ucapku sambil menatap ayah diatas meja makan, ibu hanya menatapku diam

“nak, sepatumu kan masih bagus seharusnya berterimakasih kepada orang yang telah memberikan kita barang barang tersebut, ayah belum mampu memberikan barang baru maaf ya nak” ucap ayah menasihatiku

“sudah lah, ayah selalu begini ayah tidak menyayangiku” ucapku berlari meninggalkan meja makan malam itu, aku menangis mengapa ayah sangat jahat kepadaku.

“bu, apa ayah harus lembur ya?” tanya ayah menatap ibu dengan wajah sedih

“tidak usah yah, jangan dipaksa, betul apa yang kamu katakan tadi” ucap ibu berusaha menenangkan ayah yang mungkin berkecamuk hatinya melihatku membentaknya.

Pagi itu, aku rasanya tidak ingin masuk sekolah dikarenakan kejadian kemarin, namun aku harus belajar dengan giat pikirku, lagipula aku tidak perduli dengan mereka.

“mana sepatu barumu?”

“oh ini yang kemarin bilang akan memakai sepatu baru”

“hey putri sepatu, lucu sekali ucapanmu kemarin, apa kau masih bergurau”

Itu adalah beebrapa olokan yang aku dengar di lorong kelas, jujur aku sangat tidak ingin mendengarkan mereka, menyebalkan.

Tahun terus berganti dan ayah masih setia mengantarkanku ke depan gerbang sekolah menggunakan motornya, sejujurnya beberapa kali aku mengatakan bahwa aku tidak ingin dijemput olehnya namun ayah tetaplah ayah yang teguh pada pendiriannya.

“kapan aku bisa menaiki mobil seperti teman temanku, ah sudah lah sepatu saja belum bisa ayah belikan” gumamku seraya berjalan menuju kelas.

Sesampainya dirumah aku terus merengek kepada ayah, pasalnya esok adalah hari dimana aku akan melaksanakan ujian nasional dan sepatuku sudah dapat dikatakan sangat tidak layak pakai, aku sangat kesal dengan ayah karena ia tidak dapat membelikanku sepatu baru.

“besok ya nak, ayah janji sama kamu” ucap ayah sambil terbatuk batuk, ya ayah baru saja dipecat dari pekerjaannya dan sekarang ayah berjualan makanan ringan disekitar rumahku

Hari ini adalah hari terakhir dimana aku melaksanakan ujian nasional, sepatuku benar benar rusak sehingga aku diejek oleh teman temanku. Namun ayah, ia seakan lupa oleh janjinya dan bahkan di hari terakhir ujian pun ia tidak menjemputku. Aku sangat kesal dengan ayah sekarang. Namun segala

kekesalanku terhenti ketika aku sampai didepan rumah, ada banyak orang disana dan yang membuatku terkulai lemas adalah, adanya bendera kuning. Ayah, hanya itu yang terlintas di kepalaku saat itu. Namun aku masih berusaha mencerna keadaan, semua orang menangis, begitu pula ibu, ia tersedu melihat seseorang yang tertutup kain kafan dihadapannya, tidak, ini tidak mungkin pikirku.

“AYAAH JANGAN TINGGALKAN AKU, bukan ini mauku ayah sekarang aku sudah tidak mengharapkan sepatu lagi ayah bangun” tangisku pecah saat melihat ayah sudah tertidur pulas diselimuti kain dan dikelilingi orang orang, ayah…

Seminggu setelah kepergian ayah, aku masih merasa sangat terpukul. Kemudian ibu memberikanku kotak sepatu beserta surat dari ayah.

“surat ini ditulis saat anak gadisku sedang melaksanakan ujian sekolahnya, nak maaf ayah belum bisa memenuhi ekspetasimu maaf ayah masih terlalu banyak kurangnya, bahkan ayah tidak bisa memberikan sepatu baru seperti yang kamu minta. Anak gadisku sepatu ini ayah berikan sebagai hadiah karena telah menjalani ujian dengan baik, maafkan ayah jika hal ini tidak sesuai dengan apa yang kamu inginkan”

Ayah, maaf, maaf karena aku justru selalu membentak bahkan memarahimu disaat engkau mungkin sedang kelelahan, maaf karena aku memaksamu untuk memberikan barang barang yang bahkan harganya tidak sesuai dengan pemasukan keluarga, maaf karena aku selalu membangkang, maaf ayah maaf. Ayah, aku sangat bersyukur karena aku telah ditiitpkan kepada malaikat tak bersayap yang sedari kecil selalu mengajariku banyak hal, malaikat tak bersayap yang bahkan tidak pernah terlihat sedih didepan putrinya, malaikat bersayap yang selalu berusaha memberikan yang terbaik, ayah. Aku sangat menyayangi ayah.

“SAFIRA SALSABILA DENGAN PREDIKAT LULUSAN TERBAIK SILAHKAN MAJU KE DEPAN!” ucap kepala

sekolah dengan penuh rasa bangga serta hormat beserta tepuk tangan dari hadirin membuatku senang.

Aku maju melangkahkan kaki ku satu persatu, menggunakan sepatu baru dari ayah. Sepatu yang sejarahnya mengantarkanku menjadi lulusan terbaik, sepatu yang akan kujaga sampai kapanpun, aku menyesal selalu memaksa ayah untuk selalu memberikan barang mahal dan baru aku hanya ingin memeluk ayah, namun semuanya telah terjadi. Kini aku hanya bisa berharap ayah mendapat tempat terbaik disisinya.

Exit mobile version